Minggu, 16 Juni 2013

Saat Itu, Hujan… (cerpen)


Saat Itu, Hujan…
Oleh: Anin Ayu Mahmudah

Hujan, 17:30 WIB.
Namanya Vee, sudah tiga jam berlalu ia menunggu di taman ini. Sementara yang ditunggui tak juga terlihat kelopak matanya. Ia mulai resah, rok selututnya telah basah kuyub dan ia bersikeras menunggui kekasihnya disana. Tidak beranjak sama sekali. Tidak mungkin Ray berbohong, tidak, dia pasti sedang ada keperluan mendadak. Mungkin jalanan macet, atau kemungkinan-kemungkinan lain. Ray tidak pernah ingkar janji. Ia meneguhkan hatinya. Langit menghitam, senja sudah menghilang dan hujan tak kunjung reda, Vee masih menunggu. Sampai akhirnya ia menangis dan sadar, Ray tidak pernah datang.
Veronica. Orang bilang aku cantik, baik dan pintar. Tiga kata dari harga  kesempurnaan seorang wanita. Omong kosong, buat apa ketiga hal itu kalau aku tidak punya masa depan? PYAR! Ku banting keras-keras bingkai foto kami berdua, aku dan Ray. Kurang ajar! Batinku kesal. Satu tahun atas kepergiannya, satu tahun aku berusaha keras untuk percaya bahwa dia pasti kembali, satu tahun aku menderita dipermalukan keluargaku, dijauhi orang-orang disekitarku karena terlalu keras kepala untuk tetap menunggu Ray. Hari ini tepat setahun atas kepergiannya yang tak pernah kembali, dan satu tahun sudah terlalu cukup untuk membuatku sadar bahwa Ray memang takkan pernah datang lagi.
Ibuku masih marah, karena aku menolak menikah dengan Nick, yang katanya mapan, baik dan rupawan. Sedang Ray hanya laki-laki yang tidak punya masa depan. Hah, sama saja! Semua laki-laki itu brengsek!
“Vee, kamu mau jadi perawan tua? Ibu tidak habis pikir, sebenarnya apa yang sudah dilakukan laki-laki preman itu kepadamu sampai kamu bisa sebodoh ini?” kata Ibuku.
“Dia tidak melakukan apa-apa, dia tidak pernah melakukan apa-apa. Itu yang membuatku jadi sebodoh ini!” timpalku kesal. Orang-orang ini tidak tahu apa-apa.
“Veronica! Jaga ucapanmu! Kamu ini orang berpendidikan, kamu punya masa depan, bukan hidup sia-sia menunggui lelaki yang tidak jelas seperti ini!” kakakku ikut-ikutan. Oke, keluargaku memang suka berlebihan mempermasalahkan sesuatu.
“Aku sudah tidak menungguinya, kok.” Kataku simpul.
“Lalu, kenapa kamu menolak Nick? Dia lelaki baik-baik Vee,” ibuku semakin kesal.
“Karena aku membenci semua laki-laki! Karena mereka itu brengsek! Ibu tidak sadar apa yang sudah Ayah lakukan ke Ibu? Ditinggal pergi, diterlantarkan, apa bedanya?”
“Vee, tidak seperti itu,” aku Ibuku, ia menangis.
“Selalu seperti itu. Lalu Ibu bertemu pengusaha kaya itu, yang membuat hidup ibu jadi semewah ini, beli ini itu. Tapi apa Ibu sadar apa yang dilakukannya? Dia juga tidak pernah pulang, dia hanya memberi ibu uang!” kataku.
“Vee!” teriak kakakku, “Setidaknya kita bisa memperbaiki kehidupan kita.”
“Kehidupan? Apa keuangan? Maaf ya, aku bukan perempuan materialistis seperti kalian!” aku pergi ke kamarku dan menguncinya rapat-rapat. Tuhan, kalau menangis tidak pernah menyelesaikan masalah, kenapa kau beri air mata disetiap masalah? Aku harus pergi, aku tidak ingin Ibu dan kakakku menjodohkanku dengan laki-laki manapun lagi. Aku tidak mau!
Aku membenci hujan, setiap dia datang, selalu saja ada hal yang membuatku menangis. Seolah-olah memaksaku untuk ikut menyumbang airmata bersamanya. Sudah satu minggu lebih aku meninggalkan rumah mewah itu, berusaha memperbaiki kesalahan terbesarku selama ini= menunggu Ray. Aku sudah terlalu bodoh, maka aku tidak akan menjadi lebih bodoh lagi. Masa depanku ada di tanganku sendiri, bukan lelaki manapun!
Umurku 24 tahun, dengan ijazah S1 ditanganku, aku menuju rumah teman SMA ku dulu, sambil berdoa supaya dia mau memberiku pekerjaan.
“Kamarmu disini, besok sudah mulai kerja. Jam delapan malam ya, jangan telat!” katanya. Aku mengangguk dan berterimakasih pada Wina.
Keesokan harinya, aku terbangun dan mendapati diriku sendirian di rumah besar ini. Sambil mencari makanan di dapur, kulihat album SMA ku tergeletak di meja. Membukanya seperti mengingat masa laluku yang indah, yang kubuang dengan sia-sia. Sampai tiba pada wajah seseorang disana, Ken.
“Vee, mau kuliah dimana?” tanya Ken ramah.
“Di Jogja, kamu?” balasku.
“Wah, keluar kota ya? Aku disini aja, nggak kemana-mana,” katanya. “Mm...Vee, sebenarnya aku...suka sama kamu,” ungkapnya.
“Ta...tapi, aku sudah punya pacar, Ken,” jawabku jujur. “Maaf ya.”
“Oh nggak pa-pa, siapa Vee pacarmu?” tanya Ken.
“Dia bukan anak sini, lebih tua tiga tahun dariku sih, aku juga kenal dari chat. Namanya Ray,” jawabku. Ken seperti tersedak sesuatu, lalu kembali biasa saja.
“Kenapa, Ken?” tanyaku.
“Nggak pa-pa,” lalu dia pergi. Dan di acara perpisahan itu, ia tidak hadir.
Kenangan masa lalu yang ganjil itu teringat lagi, sudah cukup. Aku tidak bisa hidup terus-terusan begini. Aku harus melupakan masa-masa itu, harus ada kehidupan yang baru! Tegasku dalam hati.
#        #          #
“Vee, bangun! Ayo siap-siap,” Wina membangunkanku, aku segera mandi dan berganti baju.
“Ya ampun, Vee. Pakai baju gue ini, norak banget!” katanya tanpa basa-basi, aku terkejut, norak apanya? Aku tidak mengerti apa yang Wina pikirkan, yang jelas aku tersinggung dengan ucapannya tadi. Aku kembali ke kamar dan mengganti baju, ya ampun, ini baju apa tembelan badan? Dengan berat hati, aku memakainya.
“Win, aku risih pakainya,” akuku jujur.
“Nah, ini kan bagus,” Wina samasekali tidak menghiraukanku, dia segera menarikku menuju mobilnya dan berangkat ke ‘tempat kerja’ kami. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi saat masuk tempat itu, kakiku gemetar, dan perasaanku tidak enak.
“Win, katanya kita mau jadi pelayan kafe? Ini kok...”
“Lo bisa ngertiin bahasa manusia sekarang nggak sih, Vee. Perasaan lo SMA dulu ranking terus deh, masak kata-kata gue semalem lo nggak bisa ngerti maksudnya?” Wina sanksi. “Udah deh, nggak usah banyak protes napa,” katanya ketus. Ini beneran lo, Win? Kenapa lo bisa tiba-tiba beda banget gini? Aku mencoba untuk sabar, ku ikuti saja kata-katanya. Oke, selama aku bisa jaga diri, nggak akan terjadi apa-apa. Kalo ada cowok dateng, cuekin aja mereka! Yakinku dalam hati.
Tiga minggu sudah berlalu, dan semuanya baik-baik saja, aku mulai bisa menikmati pekerjaanku. Setidaknya, aku bisa punya uang sendiri.
“Nona, minumnya satu ya,” seorang laki-laki seumuranku datang sambil tersenyum, aku hanya membalas senyumnya seadanya lalu memberinya minum.
“Nona orang baru ya? Kok baru lihat,” katanya, aku mengangguk. “Tarif berapa, Non?” tanyanya, kupingku memanas. Aku tahu betul apa maksud laki-laki ini. Aku menatapnya tajam.
“Saya nggak pasang tarif, saya nggak dijual,” jawabku tegas. Pria itu tersentak, terlihat di sebelah sana teman-temannya mentertawakannya, tanpa berkata apa-apa lagi ia segera pergi meninggalkanku.
Sudah larut, dan dan aku samasekali belum melihat Wina malam ini, kemana dia? Pikirku curiga. Sambil menenteng tasku, aku pun keluar dan menunggu taksi.
SRET!
“Hey! Kembalikan tasku!” teriakku kaget.
“Bayar dulu semalam,” katanya santai, ini kan pria yang tadi, brengsek! Dia tertawa.
“Kenapa harus aku sih?” tanyaku sanksi.
“Karena gue maunya elo, nggak usah banyak tanya deh!” dia menarikku paksa, kulihat Wina di pinggir jalan bersama seorang lelaki, aku memanggilnya meminta tolong. Dia melihatku, jelas-jelas dia melihatku, tapi dia hanya diam. Perempuan  jalang! Aku melawannya sekuat tenaga, nafasku tinggal satu dua, dan aku tidak tahu lagi harus berbuat apa. Hujan tiba-tiba turun deras, kakiku yang terluka terasa perih, apalagi hatiku. Tuhan, lihat aku! Aku menangis lagi, dan tidak ada siapapun yang menolongku. Harus berapa kali lagi aku menderia? Aku sudah kehilangan kekasihku, apa aku harus kehilangan harga diriku juga?Tuhan, tolong…
Aku menangis, meminta tolong, seseorang membekap mulutku. Tiba-tiba tubuhku lemas, jantungku berhenti berdetak. Lelaki itu…dia yang membekap mulutku itu…
“RAY!” pekikku keras, dia salah tingkah.
“Lo kenal dia, Ray? Hahaha,” pria itu mentertawakannya. “Selera lo tinggi juga.” Ray hanya diam, aku berharap dia segera menarikku dari sini, segera menolongku.
“Tidak,” jawabnya singkat.
“Ray? Kamu…” aku menangis, hatiku sakit, sangat sakit. Dalam hatiku bertanya,” Bagaimana rasanya, saat kau tengah menderita, kehilangan, tapi tiba-tiba orang yang kau cari datang dan memperlakukanmu seperti binatang? Bahkan ia bilang tidak mengenalimu samasekali?” Tuhan, apa kau tahu perasaanku saat ini?
“WOY!” tiba-tiba segerombolan orang datang, Ray dan temannya berlari dan orang-orang itu mengejar. Aku terduduk sendirian, memeluk lututku sendiri sambil menangis.
“Vee,” seseorang memanggilku, aku tidak mengiraukannya.
“Mau sampai kapan disini?” tanyanya lagi. Hujan turun deras, aku sudah basah kuyub. “Vee…”
“Siapa sih lo?” teriakku tanpa menoleh, “Mau apa lo? Lo sama aja, kan kayak mereka? Semua cowok itu brengsek!” kataku ketus.
“Lo nggak kenal gue?” dia balik bertanya. Aku membalikkan badan. Airmataku semakin deras, hujan pun semakin ganas mencurahkan airnya dari langit.
“K..Ken?” kataku terbata-bata, lidahku kelu. Aku terisak, nafasku naik-turun.
“Udah…” dia menarikku ke bahunya, dan kali ini aku merasa aman. Dia membiarkanku menangis, hujan masih turun, Ken memelukku lama.
#        #          #
“Makan, Vee,” ajak Ken.
“Ken, maaf ya,” kataku tiba-tiba.
“Untuk?”
“Aku emang bodoh, nggak bisa mbedain mana cowok brengsek mana cowok baik-baik, seandainya dulu aku…”
“Ssstt, kata ‘seandainya’ itu kata paling menyakitkan, jadi jangan ucapkan, oke?” aku mengangguk, dan kami pun makan.
“Kenapa kamu nggak dateng di acara perpisahan dulu?” tanyaku.
“Mm…ayahku pindah tugas, aku harus ikut,” katanya, aku hanya mengangguk.
#        #          #
Dua hari berlalu, bahkan Ken rela tidur di sofa dan merelakan tempat tidurnya untukku. Aku harus membalas kebaikannya.
“Vee, aku harus ke Jakarta, ayahku butuh bantuan disana. Kalau boleh, kau yang jaga rumah ini ya?” katanya.
“Tentu saja boleh, aku kan berhutang banyak padamu,” jawabku.
“Mm…Vee, mungkin ini terlalu cepat, tapi aku juga berpikir mau sampai kapan lagi. Jadi, apa…kau mau…menikah denganku?” tanyanya.
“Ken…”
“Terlalu cepat ya, maaf Vee.”
“Aku…tidak mau menolaknya,” kataku yakin. Ken tersenyum lebar.
“Baiklah, berarti memang tugasmu membereskan rumah ini, kan?” dia tertawa.
“Siap bos!” aku memberi hormat. Tuhan, kau baik sekali hari ini. Aku membantu Ken membereskan barang-barangnya ke Jakarta. Sore itu dia berangkat, aku melambaikan tanganku dari depan rumah. Dulu aku berharap Ken sekarang adalah Ray, tapi sekarang, aku menyesal karena pernah berharap seperti itu.
#        #          #
Tiga hari berlalu, hari ini Ken pulang bersama ayahnya. Hatiku gugup, sekaligus senang. Sudah jam lima sore, seharusnya Ken sudah datang. Hujan turun deras, kenapa harus hujan? Batinku kesal. Aku mencoba menghubungi ponselnya.
“Halo,” sapaku. “Ken, kamu sampai man…”
Hujan, 17:30 WIB.
Bajuku basah kuyub, aku berlari sekuat tenaga. Semuanya akan baik-baik saja, Vee. Semuanya baik-baik saja.
Namaku Vee, dan sudah tiga puluh menit aku menunggu seseorang di ruang tunggu. Hatiku sangat cemas, perasaanku kacau. Setengah jam berlalu, akhirnya dia keluar.
“Bagaimana, dok?” pria berbaju putih itu menggeleng pelan, “Dokter! Jawab saya! Bagaimana keadaannya?” tanyaku lagi.
“Dia meninggal.” Tubuhku lemas, baru kemarin aku bertemu dengannya, baru kemarin dia bilang kita akan menikah, dan kenapa hujan harus turun disaat semua harapan itu akan terwujud?
“Maafkan saya, Nona.”
“Kami baru akan menikah, dok,” aku sudah tidak sanggup menahan tangis, hatiku sakit, tidak pernah sesakit ini. Tuhan, kenapa kau biarkan aku kehilangan…lagi?
Saya turut berduka cita, Nona. Ini tas tuan Ken, saya serahkan pada nona.” Aku membuka tasnya dengan lemas, semuanya berakhir. Hidupku berakhir sudah. Aku menemukan sesuatu, sebuah surat.
Seharusnya aku jujur padamu, Vee. Aku minta maaf ya sebelumnya. Begini. Aku kenal Ray, dia kakak tiriku. Ibuku meninggal dan ayaku menikah dengan seorang wanita, ibu Ray. Awalnya baik-baik saja, tapi lama-lama aku tahu busuknya keluarga mereka. Ibunya cuma perempuan matre dan Ray cuma anak kurang ajar. Akhirnya ayahku bangkrut dan semua harta menjadi milik mereka, hari perpisahan itu, ayahku memutuskan untuk bekerja pada teman dekatnya, di Jogja.
Aku membantunya, mewujudkan keinginan ayahku untuk mengembalikan rumah kita. Rumah ayah dan ibuku yang dulu mereka bangun bersama, dari nol. Waktu itu aku kaget bukan karena kau sudah punya pacar. Tapi karena pacarmu bernama Ray. Tapi aku berusaha berpikir positif bahwa Ray di dunia ini tidak hanya satu, sampai akhirnya aku tahu, bahwa itu memang benar-benar Ray. Aku memutuskan diam, kau kelihatan bahagia Vee waktu itu, dan aku tidak berhak mengusiknya.
Sampai suatu malam aku melihatmu masuk ke bar itu, aku khawatir, jadi setiap malam aku menungguimu di halte bus itu untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, hingga malam kemarin aku tidak datang. Maaf Vee aku membiarkanmu lama menangis, meminta bantuan tanpa seorang pun yang datang menolong. Tapi hatiku memaksaku untuk datang lagi, dan melihatmu seperti itu rasanya hatiku tidak terima, kukumpulkan massa biar orang-orang macam Ray dapat hukumannya.
Aku senang bisa bertemu denganmu lagi. Oya, kau ingat kalung ini kan? Katamu ini kalung keberuntunganmu? Kenapa kau berikan pada Ray? Dia bahkan tidak pernah memakainya. Kau berhak atas keberuntunganmu, semoga harimu semakin baik, Vee. Pulanglah, keluargamu menunggumu kan? Ingat ya, cintailah keluarga kita, apapun keadaannya :) -Ken-

Entah apa yang tuhan rencanakan, tapi aku tidak akan memarahinya lagi. Aku akan menerimanya, menyenangkan ataupun menyakitkan. Aku tidak membenci hujan, dia baik sekali menemaniku menangis. Saat itu, hujan. Aku sengaja duduk di halte tepat seperti kau menungguiku pulang, membiarkan air hujan ikut mengikis air mataku. Membiarkan semua kenangan-kenangan itu berlalu malam ini. Untuk terakhir kalinya. Besok kau akan dimakamkan, aku janji pemakamanmu besok, hari akan cerah. Saat itu, tidak akan ada hujan.


Data Penulis:
  • Nama: Anin Ayu Mahmudah
  • Alamat: Mojosari RT 02 RW 07 Ketitang, Nogosari, Boyolali 57378
  • Ttl: Boyolali, 22 Desember 1995       

1 komentar:

ervida.. mengatakan...

good :D
variasi alurnya bagus, serta amanat yang bisa diambil mampu menggerakkan hati pembaca. untuk tidak memaki Tuhan, untuk tetap mensyukuri segala yang telah diberikan.
sukses berkarya dan menggali inspirasi ^^

Posting Komentar

.:: Mengertikah bahwa hati adalah penawar? jika ia teracuni tidakkah tubuhmu akan terancam? jagalah ia sekalipun hal itu tak mudah. Berprinsip untuk 'menjaga hati', berusaha menjadi baik supaya mendapatkan yang baik pula::. ||




Ingin Karya Anda Go Inernasional, Tampilkan Disini!!! GRATIS!!!




bagi anda yang ingin menampilkan karya anda yang berupa tulisan, bisa artikel, cerpen, novel, puisi, dll. bisa dikirim melalui email kami di ukirkata.publikasi@gmail.com. Tak perlu ragu jika karya anda kurang bagus. Kami akan menghargai karya anda.
jangan lupa lengkapi data diri anda (Nama Lengkap, Tempat Tanggal Lahir, dan Alamat)










Anda Pengunjung ke:

Popular Posts

Mutiara Islam

 
;