Sesungguhnya wajib bagi kita bersyukur kepada Allah ta’ala dengan cara melaksanakan kewajiban terhadap-Nya. Hal ini merupakan kewajiban karena nikmat yang telah diberikan Allah ta’ala kepada kita. Seseorang yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada orang lain yang telah memberikan sesuatu yang sangat berharga baginya, ia adalah orang yang yang tidak tahu berterima kasih. Maka manusia yang tidak melaksanakan kewajibannya kepada Allah ta’ala adalah manusia yang paling tidak tahu berterima kasih.
Apakah kewajiban yang harus kita laksanakan kepada Allah ta’ala yang telah memberikan karuniaNya kepada kita? Jawabannya adalah karena Allah ta’ala telah memberikan karuniaNya kepada kita dengan petunjuk ke dalam Islam dan mengikuti Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, maka bukti terima kasih kita yang paling baik adalah dengan beribadah hanya kepada Allah ta’ala secara ikhlas, mentauhidkan Allah ta’ala, menjauhkan segala bentuk kesyirikan, ittiba’ (mengikuti) Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam, taat kepada Allah ta’ala dan RasulNya shalallahu ‘alaihi wasallam, yang dengan hal itu kita menjadi muslim yang benar.
Muslim sejati ialah muslim yang mengikhlaskan ibadah hanya kepada Allah ta’ala semata dan tidak menyekutukanNya dengan sesuatu apapun, serta ittiba’ hanya kepada Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Oleh karena itu untuk menjadi seorang muslim yang benar, ia harus menuntut ilmu syar’i. Ia harus belajar agama Islam, karena Islam adalah ilmu dan amal shalih. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam diutus Allah ta’ala untuk membawa keduanya. Allah ta’ala berfirman :
Dia-lah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al Qur’an) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai. (QS At Taubah:33 dan Ash Shaf : 9).
Allah ta’ala juga berfirman :Dia-lah yang telah mengutus RasulNya dengan membawa petunjuk dan agama yang hak agar dimenangkanNya terhadap semua agama. Dan cukuplah Allah sebagai saksi. (QS Al Fath : 28).
Yang dimaksud dengan al-huda (petunjuk) ialah ilmu yang bermanfaat, dan diinul haq (agama yang benar) ialah amal shalih. Allah ta’ala mengutus Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam untuk menjelaskan kebenaran dari kebatilan, menjelaskan tentang nama-nama Allah ta’ala, sifat-sifatNya, perbuatan-perbuatanNya, hukum-hukum dan berita yang datang dariNya, memerintahkan semua yang bermanfaat untuk hati, ruh dan jasad. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikhlaskan ibadah semata-mata karena Allah ta’ala, mencintaiNya, berakhlak dengan akhlak yang mulia, beramal shalih, beradab dengan adab yang bermanfaat. Beliau shalallahu ‘alaihi wasallam melarang perbuatan syirik, amal dan akhlak yang buruk yang berbahaya untuk hati dan badan, dunia dan akhirat.[1]
Cara untuk mendapat hidayah dan mensyukuri nikmat Allah ta’ala adalah dengan menuntut ilmu syar’i. Menuntut ilmu sebagai jalan yang lurus (ash shirathal mustaqim), untuk memahami antara yang haq dan bathil, yang bermanfaat dengan yang mudaharat (membahayakan), yang dapat mendatangkan kebahagiaan dunia dan akhirat.
Seorang muslim tidaklah cukup hanya menyatakan ke-Islamannya, tanpa memahami Islam dan mengamalkannya. Pernyataannya itu harus dibuktikan dengan melaksanakan konsekuensi dari Islam.
Untuk itu, menuntut ilmu merupakan jalan menuju kebahagiaan yang abadi. Seorang muslim diwajibkan untuk menuntut ilmu syar’i. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim. (HR Ibnu Majah No. 224 dari shahabat Anas bin Malik rodhiyallohu ‘anhu, lihat Shahih Jamiush Shagir, no. 3913) [2]
B. Keutamaan Ilmu dan Menuntutnya
Ilmu memiliki banyak keutamaan, di antaranya :
1. Menuntut ilmu adalah jalan menuju Surga. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
Barangsiapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju Surga. (HR Muslim 4/2074 no. 2699 dan yang lainnya dari shahabat Abu Hurairah rodhiyallohu ‘anhu).
2. Warisan para Nabi, sebagaimana sabda Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam :
Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para nabi. Para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham, namun hanya mewariskan ilmu. Sehingga siapa yang mengambil ilmu tersebut maka telah mengambil bagian sempurna darinya (dari warisan tersebut). (HR At Tirmidzi )
3. Allah ta’ala mengangkat derajat ahli ilmu di dunia dan akherat, sebagaimana firmanNya:
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu:”Berlapang-lapanglah dalam majlis”, lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu.Dan apabila dikatakan:”Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al Mujadilah : 11)
4. Ilmu Pintu kebaikan dunia dan akherat, sebagaimana sabda Rasululloh shalallahu ‘alaihi wasallam :
Barang siapa yang Allah inginkan padanya kebaikan maka Allah fahamkan agamanya.
C. Pentingnya Ilmu Syar’i
Kita senantiasa ditambahkan ilmu, hidayah dan istiqamah di atas keta’atan, bila kita menuntut ilmu syar’i. Hal ini tidak boleh diabaikan dan tidak boleh juga dianggap remeh. Kita harus selalu bersikap penuh perhatian, serius serta sungguh-sungguh dalam menuntut ilmu syar’i. Kita akan tetap berada di atas ash-Shirathal Mustaqiim bila kita selalu belajar ilmu syar’i dan beramal shalih. Kalau kita tidak perhatikan dua hal penting ini bukan mustahil Iman dan Islam kita akan terancam bahaya. Iman kita akan terus berkurang dengan sebab ketidaktahuan kita tentang Islam, Iman, Kufur, Syirik, dan dengan sebab banyaknya dosa dan maksiyat yang kita lakukan ! Bukankah Iman kita jauh lebih berharga daripada hidup ini ? Dari sekian banyak waktu yang kita habiskan untuk bekerja, berusaha, bisnis, berdagang, kuliah dan lainnya, apakah tidak bisa kita sisihkan sepersepuluhnya untuk hal-hal yang dapat melindungi Iman kita ?
Saya tidaklah mengatakan bahwa setiap muslim harus menjadi ulama, membaca kitab-kitab yang tebal dan menghabiskan waktu sepuluh atau belasan tahun untuk usaha tersebut. Minimal setiap muslim harus bisa menyediakan waktunya satu jam saja setiap hari untuk mempelajari ilmu pengetahuan agama Islam. Itulah waktu yang paling sedikit yang harus disediakan oleh setiap muslim, baik remaja, pemuda, orang dewasa maupun yang sudah lanjut usia. Setiap muslim harus memahami esensi ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang shahih menurut pemahaman salafush shalih. Oleh karena itu ia harus tahu agama Islam dengan dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga ia dapat mengamalkan Islam ini dengan benar. Tidak banyak waktu yang dituntut untuk memperoleh pengetahuan agama Islam. Bila Iman kita lebih berharga dari segalanya, maka tidak sulit bagi kita untuk menyediakan waktu 1 jam ( enam puluh menit ) untuk belajar tentang Islam setiap hari dari waktu 24 jam ( seribu empat ratus empat puluh menit).
Ilmu syar’i mempunyai keutamaan yang sangat besar dibandingkan dengan harta yang kita miliki. Imam Ibnul Qayyim al-Jauziyah rahimahullahu (wafat tahun 751 H) menjelaskan perbedaan antara ilmu dengan harta.
D. Kemuliaan Ilmu atas Harta [3]
- Ilmu adalah warisan para Nabi, sedang harta adalah warisan para raja dan orang kaya.
- Ilmu itu menjaga yang empunya, sedang pemilik harta menjaga hartanya.
- Ilmu adalah penguasa atas harta, sedang harta tidak berkuasa atas ilmu.
- Harta bisa habis dengan sebab dibelanjakan, sedang ilmu justru bertambah dengan diajarkan.
- Pemilik harta jika telah meninggal dunia, ia berpisah dengan dengan hartanya, sedang ilmu mengiringinya masuk ke dalam kubur bersama para pemiliknya.
- Harta bisa didapatkan oleh siapa saja baik orang beriman, kafir, orang shalih dan orang jahat, sedang ilmu yang bermanfaat hanya didapatkan oleh orang yang beriman saja.
- Sesungguhnya jiwa menjadi lebih mulia dan bersih dengan mendapatkan ilmu, itulah kesempurnaan dirinya dan kemuliaannya. Sedang harta, ia tidak membersihkan dirinya, tidak pula menambahkan sifat kesempurnaan dirinya, malah jiwanya menjadi berkurang dan kikir dengan mengumpulkan harta dan menginginkannya. Jadi keinginannya kepada ilmu adalah inti kesempurnaannya dan keinginannya kepada harta adalah ketidaksempurnaan dirinya.
- Sesungguhnya mencintai ilmu dan mencarinya adalah akar semua ketaatan, sedangkan mencintai harta dan dunia adalah akar semua kesalahan.
- Sesungguhnya orang berilmu mengajak manusia kepada Allah ta’ala dengan ilmunya dan akhlaknya, sedang orang kaya itu mengajak manusia ke neraka dengan harta dan sikapnya.
- Sesungguhnya yang dihasilkan dengan kekayaan harta adalah kelezatan binatang. Jika pemiliknya mencari kelezatan dengan mengumpulkannya, itulah kelezatan ilusi. Jika pemiliknya mengumpulkan dengan menggunakannya untuk memenuhi kebutuhannya syahwatnya, itulah kelezatan binatang. Sedang kelezatan ilmu, ia adalah kelezatan akal plus ruhani yang mirip dengan kelezatan para malaikat dan kegembiraan mereka. Antara kedua kelezatan tersebut (kelezatan harta dan ilmu) terdapat perbedaan yang mencolok.
Faktor pembantu dalam keberhasilan menuntut ilmu sangat banyak sekali, diantaranya:
- Taqwa
- Do’a
- Konsistensi dan kontinyuitas dalam menuntut ilmu
- Menghafal
- Mulazamah ulama
Ada dua cara mendapatkan ilmu :
- Dengan menelaah dan mangambil ilmu dari kitab-kitab yang terpercaya yang telah ditulis para ulama yang sudah dikenal aqidah dan amanahnya
- Dengan menerima langsung dari guru yang terpercaya kelilmuan dan kesholehannya. Cara inilah yang paling cepat dan gampang dalam mengambil ilmu agama.
Ust. Kholid Syamhudi, Lc
Artikel ustadzkholid.com
—————————————–
Catatan Kaki:
[1] Lihat Tafsir Taisirul Karimur Rahman Fi Tafsir Kalaamil Mannaan, oleh Syaikh Abdur Rahman bin Nashir As Sa’di (wafat th. 1376 H) hlm. 295-296, Cet. Muasasah Ar Risalah th. 1417 H.
[2] Diriwayatkan pula dari beberapa sahabat seperti Ali, Ibnu Abbas, Ibnu Umar, Ibnu Mas’ud, Abu Sa’id Al-Khudri, Husain bin Ali radhiyallahu ‘anhum dan imam-imam ahli hadits dengan sanad yang shahih. Lihat kitab Takhrij Musykilatul Faqr no. 86 oleh Syaikh Al Imam Muhammad Nashiruddin Al Albani t Cet. IV Al Maktab Al Islami, th. 1414 H.
[3] Lihat Al Ilmu Fadhluhu Wa Syarafuhu Min Durari Kalami, Syaikhul Islam Ibnu Qoyyim, tahqiq wa ta’liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsari, Cet. I. Majmu’ atuttuhaf An Nafaais Ad Dauliyah, th. 1416 H.
Source: ustadzkholid.com
http://artikelislam.e-salim.com
0 komentar:
Posting Komentar