Saat Itu, Hujan…
Oleh: Anin Ayu Mahmudah
Hujan,
17:30 WIB.
Namanya
Vee, sudah tiga jam berlalu ia menunggu di taman ini. Sementara yang ditunggui
tak juga terlihat kelopak matanya. Ia mulai resah, rok selututnya telah basah
kuyub dan ia bersikeras menunggui kekasihnya disana. Tidak beranjak sama
sekali. Tidak mungkin Ray berbohong,
tidak, dia pasti sedang ada keperluan mendadak. Mungkin jalanan macet, atau
kemungkinan-kemungkinan lain. Ray tidak pernah ingkar janji. Ia meneguhkan
hatinya. Langit menghitam, senja sudah menghilang dan hujan tak kunjung reda,
Vee masih menunggu. Sampai akhirnya ia menangis dan sadar, Ray tidak pernah
datang.
Veronica.
Orang bilang aku cantik, baik dan pintar. Tiga kata dari harga kesempurnaan seorang wanita. Omong kosong,
buat apa ketiga hal itu kalau aku tidak punya masa depan? PYAR! Ku banting
keras-keras bingkai foto kami berdua, aku dan Ray. Kurang ajar! Batinku kesal. Satu tahun atas kepergiannya, satu
tahun aku berusaha keras untuk percaya bahwa dia pasti kembali, satu tahun aku
menderita dipermalukan keluargaku, dijauhi orang-orang disekitarku karena
terlalu keras kepala untuk
tetap
menunggu Ray. Hari ini tepat setahun atas kepergiannya yang tak pernah kembali,
dan satu tahun sudah terlalu cukup untuk membuatku sadar bahwa Ray memang
takkan pernah datang lagi.
Ibuku
masih marah, karena aku menolak menikah dengan Nick, yang katanya mapan, baik
dan rupawan. Sedang Ray hanya laki-laki yang tidak punya masa depan. Hah, sama
saja! Semua laki-laki itu brengsek!
“Vee,
kamu mau jadi perawan tua? Ibu tidak habis pikir, sebenarnya apa yang sudah
dilakukan laki-laki preman itu kepadamu sampai kamu bisa sebodoh ini?” kata
Ibuku.
“Dia
tidak melakukan apa-apa, dia tidak pernah melakukan apa-apa. Itu yang membuatku
jadi sebodoh ini!” timpalku kesal. Orang-orang
ini tidak tahu apa-apa.
“Veronica!
Jaga ucapanmu! Kamu ini orang berpendidikan, kamu punya masa depan, bukan hidup
sia-sia menunggui lelaki yang tidak jelas seperti ini!” kakakku ikut-ikutan.
Oke, keluargaku memang suka berlebihan mempermasalahkan sesuatu.
“Aku
sudah tidak menungguinya, kok.” Kataku simpul.
“Lalu,
kenapa kamu menolak Nick? Dia lelaki baik-baik Vee,” ibuku semakin kesal.
“Karena
aku membenci semua laki-laki! Karena mereka itu brengsek! Ibu tidak sadar apa
yang sudah Ayah lakukan ke Ibu? Ditinggal pergi, diterlantarkan, apa bedanya?”
“Vee,
tidak seperti itu,” aku Ibuku, ia menangis.
“Selalu
seperti itu. Lalu Ibu bertemu pengusaha kaya itu, yang membuat hidup ibu jadi
semewah ini, beli ini itu. Tapi apa Ibu sadar apa yang dilakukannya? Dia juga
tidak pernah pulang, dia hanya memberi ibu uang!” kataku.
“Vee!”
teriak kakakku, “Setidaknya kita bisa memperbaiki kehidupan kita.”
“Kehidupan?
Apa keuangan? Maaf ya, aku bukan perempuan materialistis seperti kalian!” aku
pergi ke kamarku dan menguncinya rapat-rapat. Tuhan, kalau menangis tidak pernah menyelesaikan masalah, kenapa kau
beri air mata disetiap masalah? Aku harus pergi, aku tidak ingin Ibu dan
kakakku menjodohkanku dengan laki-laki manapun lagi. Aku tidak mau!
Aku
membenci hujan, setiap dia datang, selalu saja ada hal yang membuatku menangis.
Seolah-olah memaksaku untuk ikut menyumbang airmata bersamanya. Sudah satu
minggu lebih aku meninggalkan rumah mewah itu, berusaha memperbaiki kesalahan
terbesarku selama ini= menunggu Ray. Aku sudah terlalu bodoh, maka aku tidak
akan menjadi lebih bodoh lagi. Masa depanku ada di tanganku sendiri, bukan
lelaki manapun!
Umurku
24 tahun, dengan ijazah S1 ditanganku, aku menuju rumah teman SMA ku dulu,
sambil berdoa supaya dia mau memberiku pekerjaan.
“Kamarmu
disini, besok sudah mulai kerja. Jam delapan malam ya, jangan telat!” katanya.
Aku mengangguk dan
berterimakasih pada Wina.
Keesokan
harinya, aku terbangun dan mendapati diriku sendirian di rumah besar ini.
Sambil mencari makanan di dapur, kulihat album SMA ku tergeletak di meja. Membukanya
seperti mengingat masa laluku yang indah, yang kubuang dengan sia-sia. Sampai
tiba pada wajah seseorang disana, Ken.
“Vee, mau kuliah
dimana?” tanya Ken ramah.
“Di Jogja, kamu?”
balasku.
“Wah, keluar kota ya?
Aku disini aja, nggak kemana-mana,” katanya. “Mm...Vee, sebenarnya aku...suka
sama kamu,” ungkapnya.
“Ta...tapi, aku sudah
punya pacar, Ken,” jawabku jujur. “Maaf ya.”
“Oh nggak pa-pa, siapa
Vee pacarmu?” tanya Ken.
“Dia bukan anak sini,
lebih tua tiga tahun dariku sih, aku juga kenal dari chat. Namanya Ray,” jawabku. Ken
seperti tersedak sesuatu, lalu kembali biasa saja.
“Kenapa, Ken?” tanyaku.
“Nggak pa-pa,” lalu dia
pergi. Dan di acara perpisahan itu, ia tidak hadir.
Kenangan
masa lalu yang ganjil itu teringat lagi, sudah cukup. Aku tidak bisa hidup
terus-terusan begini. Aku harus melupakan masa-masa itu, harus ada kehidupan
yang baru! Tegasku dalam hati.
# # #
“Vee,
bangun! Ayo siap-siap,” Wina membangunkanku, aku segera mandi dan berganti
baju.
“Ya
ampun, Vee. Pakai baju gue ini, norak banget!” katanya tanpa basa-basi, aku
terkejut, norak apanya? Aku tidak
mengerti apa yang Wina pikirkan, yang jelas aku tersinggung dengan ucapannya
tadi. Aku kembali ke kamar dan mengganti baju, ya ampun, ini baju apa tembelan badan? Dengan berat hati, aku memakainya.
“Win,
aku risih pakainya,” akuku jujur.
“Nah,
ini kan bagus,” Wina samasekali tidak menghiraukanku, dia segera menarikku
menuju mobilnya dan berangkat ke ‘tempat kerja’ kami. Aku tidak bisa berkata
apa-apa lagi saat masuk tempat itu, kakiku gemetar, dan perasaanku tidak enak.
“Win,
katanya kita mau jadi pelayan kafe? Ini kok...”
“Lo
bisa ngertiin bahasa manusia sekarang nggak sih, Vee. Perasaan lo SMA dulu
ranking terus deh, masak kata-kata gue semalem lo nggak bisa ngerti maksudnya?”
Wina sanksi. “Udah deh, nggak usah banyak protes napa,” katanya ketus. Ini beneran lo, Win? Kenapa lo bisa
tiba-tiba beda banget gini? Aku mencoba untuk sabar, ku ikuti saja
kata-katanya. Oke, selama aku bisa jaga diri, nggak akan terjadi apa-apa. Kalo ada cowok dateng, cuekin aja mereka! Yakinku
dalam hati.
Tiga
minggu
sudah berlalu, dan semuanya baik-baik saja, aku mulai bisa menikmati
pekerjaanku. Setidaknya, aku bisa punya uang sendiri.
“Nona,
minumnya satu ya,” seorang laki-laki seumuranku datang sambil tersenyum, aku
hanya membalas senyumnya seadanya lalu memberinya minum.
“Nona orang baru ya? Kok
baru lihat,” katanya, aku mengangguk. “Tarif berapa, Non?” tanyanya, kupingku
memanas. Aku tahu betul apa maksud laki-laki ini. Aku menatapnya tajam.
“Saya nggak pasang tarif,
saya nggak dijual,” jawabku tegas. Pria itu tersentak, terlihat di sebelah sana
teman-temannya mentertawakannya, tanpa berkata apa-apa lagi ia segera pergi
meninggalkanku.
Sudah larut, dan dan aku
samasekali belum melihat Wina malam ini, kemana
dia? Pikirku curiga. Sambil menenteng tasku, aku pun keluar dan menunggu
taksi.
SRET!
“Hey! Kembalikan tasku!”
teriakku kaget.
“Bayar dulu semalam,”
katanya santai, ini kan pria yang tadi,
brengsek! Dia tertawa.
“Kenapa harus aku sih?”
tanyaku sanksi.
“Karena gue maunya elo,
nggak usah banyak tanya deh!” dia menarikku paksa, kulihat Wina di pinggir
jalan bersama seorang lelaki, aku memanggilnya meminta tolong. Dia melihatku,
jelas-jelas dia melihatku, tapi dia hanya diam. Perempuan jalang! Aku
melawannya sekuat tenaga, nafasku tinggal satu dua, dan aku tidak tahu lagi
harus berbuat apa. Hujan tiba-tiba turun deras, kakiku yang terluka terasa
perih, apalagi hatiku. Tuhan, lihat aku!
Aku menangis lagi, dan tidak ada siapapun yang menolongku. Harus berapa kali lagi
aku menderia? Aku sudah kehilangan kekasihku, apa aku harus kehilangan harga
diriku juga?Tuhan, tolong…
Aku menangis, meminta
tolong, seseorang membekap mulutku. Tiba-tiba tubuhku lemas, jantungku berhenti
berdetak. Lelaki itu…dia yang membekap
mulutku itu…
“RAY!” pekikku keras, dia
salah tingkah.
“Lo kenal dia, Ray? Hahaha,”
pria itu mentertawakannya. “Selera lo tinggi juga.” Ray hanya diam, aku berharap
dia segera menarikku dari sini, segera menolongku.
“Tidak,” jawabnya singkat.
“Ray? Kamu…” aku menangis,
hatiku sakit, sangat sakit. Dalam hatiku
bertanya,” Bagaimana rasanya, saat kau tengah menderita, kehilangan, tapi
tiba-tiba orang yang kau cari datang dan memperlakukanmu seperti binatang?
Bahkan ia bilang tidak mengenalimu samasekali?” Tuhan, apa kau tahu perasaanku
saat ini?
“WOY!” tiba-tiba
segerombolan orang datang, Ray dan temannya berlari dan orang-orang itu
mengejar. Aku terduduk sendirian, memeluk lututku sendiri sambil menangis.
“Vee,” seseorang memanggilku,
aku tidak mengiraukannya.
“Mau sampai kapan disini?”
tanyanya lagi. Hujan turun deras, aku sudah basah kuyub. “Vee…”
“Siapa sih lo?” teriakku
tanpa menoleh, “Mau apa lo? Lo sama aja, kan kayak mereka? Semua cowok itu
brengsek!” kataku ketus.
“Lo nggak kenal gue?” dia
balik bertanya. Aku membalikkan badan. Airmataku semakin deras, hujan pun
semakin ganas mencurahkan airnya dari langit.
“K..Ken?” kataku
terbata-bata, lidahku kelu. Aku terisak, nafasku naik-turun.
“Udah…” dia menarikku ke
bahunya, dan kali ini aku merasa aman. Dia membiarkanku menangis, hujan masih
turun, Ken memelukku lama.
# # #
“Makan, Vee,” ajak Ken.
“Ken, maaf ya,” kataku
tiba-tiba.
“Untuk?”
“Aku emang bodoh, nggak bisa
mbedain mana cowok brengsek mana cowok baik-baik, seandainya dulu aku…”
“Ssstt, kata ‘seandainya’
itu kata paling menyakitkan, jadi jangan ucapkan, oke?” aku mengangguk, dan
kami pun makan.
“Kenapa kamu nggak dateng di
acara perpisahan dulu?” tanyaku.
“Mm…ayahku pindah tugas, aku
harus ikut,” katanya, aku hanya mengangguk.
# # #
Dua hari berlalu, bahkan Ken
rela tidur di sofa dan merelakan tempat tidurnya untukku. Aku harus membalas
kebaikannya.
“Vee, aku harus ke Jakarta,
ayahku butuh bantuan disana. Kalau boleh, kau yang jaga rumah ini ya?” katanya.
“Tentu saja boleh, aku kan
berhutang banyak padamu,” jawabku.
“Mm…Vee, mungkin ini terlalu
cepat, tapi aku juga berpikir mau sampai kapan lagi. Jadi, apa…kau mau…menikah
denganku?” tanyanya.
“Ken…”
“Terlalu cepat ya, maaf
Vee.”
“Aku…tidak mau menolaknya,”
kataku yakin. Ken tersenyum lebar.
“Baiklah, berarti memang
tugasmu membereskan rumah ini, kan?” dia tertawa.
“Siap bos!” aku memberi
hormat. Tuhan, kau baik sekali hari ini. Aku
membantu Ken membereskan barang-barangnya ke Jakarta. Sore itu dia berangkat,
aku melambaikan tanganku dari depan rumah. Dulu
aku berharap Ken sekarang adalah Ray, tapi sekarang, aku menyesal karena pernah
berharap seperti itu.
# # #
Tiga hari berlalu, hari ini
Ken pulang bersama ayahnya. Hatiku gugup, sekaligus senang. Sudah jam lima
sore, seharusnya Ken sudah datang. Hujan turun deras, kenapa harus hujan? Batinku kesal. Aku mencoba menghubungi
ponselnya.
“Halo,” sapaku. “Ken, kamu
sampai man…”
Hujan, 17:30 WIB.
Bajuku basah kuyub, aku
berlari sekuat tenaga. Semuanya akan
baik-baik saja, Vee. Semuanya baik-baik saja.
Namaku Vee, dan sudah tiga
puluh menit aku menunggu seseorang di ruang tunggu. Hatiku sangat cemas,
perasaanku kacau. Setengah jam berlalu, akhirnya dia keluar.
“Bagaimana, dok?” pria
berbaju putih itu menggeleng pelan, “Dokter! Jawab saya! Bagaimana keadaannya?”
tanyaku lagi.
“Dia meninggal.” Tubuhku
lemas, baru kemarin aku bertemu dengannya, baru kemarin dia bilang kita akan
menikah, dan kenapa hujan harus turun disaat semua harapan itu akan terwujud?
“Maafkan saya, Nona.”
“Kami baru akan menikah,
dok,” aku sudah tidak sanggup menahan tangis, hatiku sakit, tidak pernah
sesakit ini. Tuhan, kenapa kau biarkan
aku kehilangan…lagi?
“Saya turut
berduka cita, Nona. Ini tas tuan Ken, saya serahkan pada nona.” Aku membuka
tasnya dengan lemas, semuanya berakhir. Hidupku berakhir sudah. Aku menemukan
sesuatu, sebuah surat.
Seharusnya aku jujur padamu, Vee. Aku
minta maaf ya sebelumnya. Begini. Aku kenal Ray, dia kakak tiriku. Ibuku
meninggal dan ayaku menikah dengan seorang wanita, ibu Ray. Awalnya baik-baik
saja, tapi lama-lama aku tahu busuknya keluarga mereka. Ibunya cuma perempuan
matre dan Ray cuma anak kurang ajar. Akhirnya ayahku bangkrut dan semua harta
menjadi milik mereka, hari perpisahan itu, ayahku memutuskan untuk bekerja pada
teman dekatnya, di Jogja.
Aku membantunya, mewujudkan keinginan
ayahku untuk mengembalikan rumah kita. Rumah ayah dan ibuku yang dulu mereka
bangun bersama, dari nol. Waktu itu aku kaget bukan karena kau sudah punya
pacar. Tapi karena pacarmu bernama Ray. Tapi aku berusaha berpikir positif
bahwa Ray di dunia ini tidak hanya satu, sampai akhirnya aku tahu, bahwa itu
memang benar-benar Ray. Aku memutuskan diam, kau kelihatan bahagia Vee waktu
itu, dan aku tidak berhak mengusiknya.
Sampai suatu malam aku melihatmu masuk
ke bar itu, aku khawatir, jadi setiap malam aku menungguimu di halte bus itu
untuk memastikan bahwa kau baik-baik saja, hingga malam kemarin aku tidak
datang. Maaf Vee aku membiarkanmu lama menangis, meminta bantuan tanpa seorang
pun yang datang menolong. Tapi hatiku memaksaku untuk datang lagi, dan
melihatmu seperti itu rasanya hatiku tidak terima, kukumpulkan massa biar
orang-orang macam Ray dapat hukumannya.
Aku senang bisa bertemu denganmu lagi.
Oya, kau ingat kalung ini kan? Katamu ini kalung keberuntunganmu? Kenapa kau
berikan pada Ray? Dia bahkan tidak pernah memakainya. Kau berhak atas
keberuntunganmu, semoga harimu semakin baik, Vee. Pulanglah, keluargamu
menunggumu kan? Ingat ya, cintailah keluarga kita, apapun keadaannya :) -Ken-
Entah apa yang tuhan
rencanakan, tapi aku tidak akan memarahinya lagi. Aku akan menerimanya,
menyenangkan ataupun menyakitkan. Aku tidak membenci hujan, dia baik sekali
menemaniku menangis. Saat itu, hujan. Aku sengaja duduk di halte tepat seperti
kau menungguiku pulang, membiarkan air hujan ikut mengikis air mataku.
Membiarkan semua kenangan-kenangan itu berlalu malam ini. Untuk terakhir
kalinya. Besok kau akan dimakamkan, aku janji pemakamanmu besok, hari akan
cerah. Saat itu, tidak akan ada hujan.
Data Penulis:
- Alamat:
Mojosari RT 02 RW 07 Ketitang, Nogosari, Boyolali 57378
- Ttl: Boyolali, 22 Desember 1995